AksaraKaltim – Angka kasus kekerasan di Kalimantan Timur (Kaltim) masih terbilang tinggi. Mirisnya, mayoritas korban kekerasan yang tercatat di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim adalah anak-anak, baik itu perempuan dan laki-laki.
Kepala DP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, mengungkapkan bahwa dari total laporan kasus kekerasan yang masuk, sekitar 60 persen korbannya adalah anak berusia di bawah 18 tahun. Sementara sisanya, 40 persen, merupakan orang dewasa.
“Kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi. Dari seluruh laporan, sekitar 60 persen korbannya adalah anak berusia di bawah 18 tahun,” jelas Soraya-sapaannya.
Soraya menerangkan, kekhawatiran yang dulu terfokus pada anak perempuan kini juga menyasar anak laki-laki. Dari sekitar 700 kasus atau 60 persen kekerasan yang dialami anak-anak, 46,4 persen merupakan korban perempuan, dan 14,6 persen korban adalah anak laki-laki.
“Dulu kami sering khawatir kekerasan menimpa anak perempuan, namun faktanya anak laki-laki juga banyak menjadi korban,” tegasnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan pemerintah menunjukkan bahwa kasus kekerasan di Kaltim berada pada angka yang fluktuatif namun mengkhawatirkan. Pada tahun 2023 tercatat 1.118 kasus. Lalu di tahun 2024 turun menjadi 1.002 kasus. Namun di tahun ini per Oktober kembali terjadi lonjakan dengan total 1.110 kasus.
Soraya menjelaskan, seperti lingkungan rumah tangga, lembaga pendidikan juga tidak luput dari potensi terjadinya kekerasan.
“Anak-anak perlu diberikan ruang gerak yang aman agar dapat tumbuh dan berkembang tanpa kekerasan. Pemenuhan hak-hak mereka tidak boleh dilakukan secara diskriminatif,” ujarnya.
Ia menegaskan, setiap anak berhak memperoleh perlindungan, kesempatan, serta pemenuhan hak seluas-luasnya, bahkan hingga mereka yang telah memasuki dunia kampus. Perlindungan ini harus selaras dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
Untuk itu, pencegahan yang efektif harus dimulai dengan menciptakan lingkungan aman, ramah perempuan dan anak, serta mendukung pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
“Kita perlu memperkuat kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam mencegah, mengenali tanda-tanda kekerasan, serta melaporkannya melalui mekanisme yang benar,” pungkasnya.






