AksaraKaltim – Salah satu poin dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perpustakaan mengharuskan pengelola perpustakaan memiliki gaji yang setara dengan Upah Minimum Regional (UMR). Sementara gaji honorer di Bontang sendiri masih di bawah UMP.
Namun, hal ini dinilai bukan sebuah hambatan untuk merampungkan Raperda itu menjadi sebuah Perda. Tentunya, gaji honorer saat ini disesuaikan dengan kekuatan keuangan pemerintah daerah.
Terlebih, apabila sudah disahkan menjadi Perda tentu penerapannya tidak langsung diberlakukan. Pasti membutuhkan waktu untuk bisa diterapkan secara utuh.
“Ini memang dilematis sebenarnya. Tapi kan beda persoalan jadi ini bukan sebuah hambatan nantinya,” kata Anggota Komisi I DPRD Bontang, Adrof Dita.
Menurut Adrof, Kota Bontang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar. Hanya saja belum dimaksimalkan saat ini. Terlebih keunggulan Bontang memiliki dua perusahaan raksasa dan perusahaan-perusahaan besar lain. Bukan hanya berkantor bahkan membangun pabrik besar di sini.
Hal ini tentunya bisa dimanfaatkan dengan menjalin kerjasama dengan pihak perusahaan yang ada di Bontang.
“Kita standarkan perpustakaan dulu, setelah itu kan bisa koordinasi sama perusahaan mengajukan subsidi ke mereka,” ungkapnya.
Adrof juga menilai apabila Perpustakaan Daerah (Perpusda) Bontang sudah menerapkan standar nasional begitu pun dengan upahnya. Tentu ini akan menjadi cerminan bagi daerah lain, agar bisa memacu kinerja mereka agar bisa mencapai hal yang sama.
“Kalau pustakawan bisa standar nasional kan begitu juga upahnya. Kan bisa menjadi acuan bagi kementerian-kementerian lain untuk memperhatikan anggotanya,” terangnya.
Diketahui saat ini Raperda Perpustakaan telah memasuki masa konsultasi publik. Dan dalam waktu dekat akan masuk masa harmonisasi. (Adv)