Kaltim  

Mangrove Camptostemon Philiphinensis: Jejak Langka yang Terancam Hilang di Teluk Balikpapan

AksaraKaltim – Mansur duduk di teras rumah miliknya sambil merajut mata kail menjadi sebuah rawai. Pekerjaan tersebut bukan hal baru baginya. Menjadi nelayan sudah ia lakoni sejak usianya masih belasan tahun.

Jemarinya terlihat piawai menghubungkan mata kail dengan sebuah tali nilon. Hitungan detik puluhan mata mata pancing tertancap rapi, di tepi sebuah kotak kayu persis dihadapannya.

Hari itu Rabu (25/9/2024), Mansur memutuskan tidak melaut. Waktu luangnya, ia gunakan membuat pancing jenis rawai, salah satu alat tangkap ikan yang memiliki banyak mata kail dan saling terhubung. Jumlahnya bervariasi, bisa puluhan hingga ratusan mata pancing. Dari mata kail ke mata pancing lainnya memiliki jarak, mulai dari setengah hingga satu depa tangan orang dewasa.

Sayangnya, meski memiliki banyak mata kail, hasil tangkapan menggunakan pancing rawai sudah tidak sebanyak dulu. Padahal lokasi Mansur mencari ikan masih di tempat yang sama, sekitar 20-30 menit bila ditempuh menggunakan kapal kecil miliknya. Mansur menduga adanya aktivitas pembangunan dermaga pelabuhan pendukung dan bandara VVIP untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi pemicu semakin berkurangnya jumlah ikan-ikan tersebut.

“Dari Jenebora ke lokasi Bandara IKN hanya 30 menit menggunakan jalur darat, laut 20 menit lewat air. Sering mancing ke sana. Kalau dulu masih enak cari ikan. Kalau sekarang susah. Mungkin karena aktivitas IKN,” cerita Mansur.

Laki-laki kelahiran tahun 1979 itu, mengenang kembali beberapa tahun sebelum ada geliat pembangunan IKN. Biasanya dalam sehari dia bisa menangkap ikan jenis Kakap berkisar 7-10 kg. Sekarang untuk mendapatkan satu ekor ikan Kakap saja dirasa Mansur begitu sulit. Lokasi mencari ikan pun tidak lagi sama, Mansur harus sedikit menjauh ke arah laut. Dia pun menyadari resiko, segala sesuatu bisa saja terjadi. Namun tidak ada pilihan baginya agar tetap bisa menghidupi keluarganya.

“Cukup banyak perubahan dan dampaknya IKN. Semakin sempit lokasi tangkapan, harus lebih jauh ke arah laut (mencari ikan) dan resiko juga tinggi,” ungkapnya.

Warga Jenebora, Mansur sedang membuat pancing rawai di teras samping rumahnya. (Aksara Kaltim)

Biasanya Mansur berangkat di pagi-pagi sekali, dan pulang ke rumah sore harinya. Dengan durasi melaut seperti itu, ia bisa mengkantongi uang Rp500 ribu. Maklum saja, hasil tangkapannya biasanya ikan jenis kakap yang dihargai Rp50 ribu per kilogram.

Tapi, sekarang Mansur rata-rata hanya bisa menghasilkan Rp150 ribu. Jumlah tersebut dirasakan Mansur tak lagi cukup, apalagi untuk menutup biaya operasional. Sekali melaut Mansur harus menyiapkan lima liter solar. Itu saja sudah menghabiskan Rp34 ribu, jika harga solar di pasaran sesuai dengan harga subsidi yang ditetapkan oleh Pertamina. Belum lagi biaya-biaya lainnya.

“Kalau dulu, misal dapat sampai 10 kg ikan artinya bisa Rp500 ribu didapat. Kalau sekarang susah. Paling tinggi bisa dapat cuma Rp150 ribu saja satu hari, khusus kakap,” kata Mansur.

Lantaran tangkapan melalui pancing semakin sulit, alhasil sesekali Mansur mulai mencari ikan dengan cara memasang rengge atau pukat. Tapi ikan yang didapatkan pun hanya ikan-ikan kecil saja. Seperti belanat, dan ikan kecil lainnya. Harga jualnya murah, kisaran Rp20 ribu sampai Rp30 ribu per kilogram.

Hal serupa dialami oleh Rahman, seorang warga Jenebora yang berprofesi sebagai nelayan pencari udang baring atau udang rebon. Sudah hampir 30 tahun ia menghabiskan waktunya menjalani pekerjaan tersebut. Ia turut merasakan turunnya hasil tangkapannya semenjak adanya aktivitas pembangunan IKN.

Menurut Rahman, waktu yang tepat untuk mencari udang rebon adalah saat musim angin Utara, ketika hembusan angin laut tidak terlalu kencang. Kondisi air laut pun idealnya sedang pasang, tetapi tidak terlalu tinggi. Warga setempat biasanya menyebut kondisi ini sebagai air ‘Konda’.

Dalam situasi tersebut, hasil tangkapan bisa maksimal, biasanya mencapai 40 hingga 50 kilogram. Namun, berbeda halnya ketika musim angin Selatan tiba, di mana angin laut bertiup cukup kencang. Hasil tangkapan biasanya menurun drastis, hanya sekitar 10 kilogram saja.

Per kilogram udang Baring biasa di jual Rahman dengan harga Rp45 ribu sampai Rp50 ribu. Bila stok udang Rebon dalam kondisi sedikit. Namun jika udang tersebut tengah berlimpah ruah harganya hanya sekitar Rp25 ribu sampai Rp35 ribu.

“Udang baring tergantung musim. Akan banyak kalau musim angin Utara. Kalau seperti sekarang musim angin Selatan kurang. Baik itu mencari ikan, udang dan lainnya,” jelas Rahman.

Sekarang, paling banyak udang baring yang bisa didapat Rahman saat melaut hanya sekitar 30 Kg. Salah satu penyebabnya diduga, sejak adanya berbagai aktivitas pembangunan. Jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum ada IKN. Belum lagi, anak-anak sungai yang ada di sekitaran Jenebora banyak menjadi sungai mati.

“Apalagi banyak lahan yang didorong lahan, sehingga banyak anak sungai tertutup, jadi bibitnya banyak mati. Karena kalau air laut surut mereka (udang rebon) pindah ke sungai.,” ujarnya.

Mangrove, sumber penghidupan nelayan

Keberadaan mangrove di Teluk Balikpapan memiliki peran vital sebagai rumah bagi berbagai spesies laut, seperti ikan, udang, kepiting, dan kerang. Nelayan dapat memanfaatkan kawasan pesisir dekat mangrove untuk menangkap biota tersebut tanpa harus melaut jauh.

Namun, mangrove di Teluk Balikpapan kini terancam pembabatan untuk kepentingan perluasan pelabuhan logistik pendukung Ibu Kota Nusantara (IKN) dan pembangunan Bandara VVIP.

Hal ini menjadi kekhawatiran bagi Mansur, seorang nelayan yang tinggal di Jenebora. Menurutnya, mangrove adalah salah satu elemen penting untuk mendukung mata pencaharian para nelayan.

“Itu sudah yang kami pikirkan kalau sampai mangrove-mangrove itu dibabat habis. Maka lokasi nelayan semakin kecil berusaha cari ikan dan udang. Apalagi, seperti ikan dan udang menetasnya (berkembang biak) di mangrove. Kalau nanti habis (mangrove) otomatis perkembangan ikan semakin kecil, pasti berdampak (hasil tangkap nelayan),” ungkapnya.

Menariknya, kata Mansur di kawasan pesisir Desa Jenebora hingga Desa Pantai Lango, ditemukan salah satu jenis mangrove langka, yaitu Camptostemon philiphinensis. Mangrove tersebut tumbuh di Pantai Lango dan Pulau Kowangan.

“Ada mangrove langka, tau saya. Namanya Camptostemon, ada di Pantai Lango dan Pulau Kowangan. Kalau Artikulata (salah satu jenis mangrove) banyak di sini,” terangnya.

Warga Jenebora, Rahman tengah menjemur udang baring di pelataran belakang rumahnya. (Aksara Kaltim)

Rahman, nelayan lainnya, menambahkan bahwa dirinya juga mendengar rencana pembabatan mangrove di Teluk Balikpapan. Namun, ia mengaku tidak mengetahui adanya jenis mangrove langka di kawasan itu.

“Kalau bisa, mangrove jangan dihabisi. Itu tempat berkembang biak ikan, udang, dan biota laut lain yang menjadi sumber kehidupan kami,” kata Rahman.

Kontra Nagara Rimba Nusa

Ketua Pokja Pesisir Kaltim, Mapasele menjelaskan ada dua titik lokasi keberadaan mangrove langka yang ada di Teluk Balikpapan, yakni dekat dengan pembangunan Bandara VVIP IKN dan Pulau Kowangan. Camptostemon philiphinensis, kata Mapasele, adalah salah satu mangrove langka dan terancam punah dan tercatat dalam daftar merah IUCN.

Menurut Mapasele, pemerintah seharusnya memberikan perhatian khusus untuk melindungi flora dan fauna di kawasan ini, termasuk bekantan yang juga terancam habitatnya. Termasuk mangrove kuning salah satu mangrove yang disakralkan warga dan biasa digunakan untuk ritual adat. Tapi dengan adanya IKN, khususnya pembangunan pelabuhan pendukung turut membabat mangrove tersebut.

“Mangrove Camptostemon philiphinensis masuk langka dan kritis. Selain itu seperti bekantan dan lainnya harus dilindungi juga. Kan percuma, kalau habitatnya tidak dilindungi,” ujarnya.

Pemerintah sebelumnya diketahui mengangkat tema Nagara Rimba Nusa sebagai konsep pembangunan IKN, yang menonjolkan keseimbangan antara modernitas dan kelestarian alam. Nagara Rimba Nusa memiliki arti pemerintahan (Nagara), hutan (Rimba), dan Pulau (Nusa). Namun, realitas di lapangan sering bertolak belakang dengan narasi tersebut.

Ketua Pokja Pesisir Kaltim, Mapasele. (Dokumentasi pribadi Mapasele).

Mapasele, mengatakan sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan pihak OIKN menjanjikan pembangunan IKN smart city, green city, ramah lingkungan dan sebagainya. Dengan tujuan mengkoreksi pembangunan di Kaltim yang selama ini mengekploitasi sumber daya alam.

“Itu narasi yang selama ini disampaikan. Tapi fakta di lapangan tidak demikian. Jadi apa yang disampaikan pemerintah selama ini patut dipertanyakan. Karena banyak habitat di pesisir banyak yang tergerus,” jelasnya.

Diterangkannya, pada tahun 2017 silam luasan mangrove di Teluk Balikapan. Mencakup wilayah Penajam Paser Utara dan Balikpapan ada sekitar 16.800 hektar mangrove. Sayangnya, seiring pembangunan IKN, banyak kawasan mangrove yang diklaim sebagai area pembangunan, meskipun masuk dalam wilayah konservasi.

“Seiring adanya IKN, banyak klaim dan terdapat plang-plang untuk pembangunan. Padahal lokasi itu masuk wilayah konservasi,” bebernya.

Mangrove Langka di Teluk Balikpapan

Peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan populasi Camptostemon philiphinensis di Teluk Balikpapan pada 2022 hanya sebanyak 527 individu, yang sebagian besar berupa semaian.

Meski memiliki potensi regenerasi alami, habitat ini rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas manusia, termasuk pembangunan IKN. Selain itu, mangrove ini berasosiasi dengan flora lainnya, seperti Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, dan Avicennia alba.

Camptostemon philiphinensis rentan terhadap kerusakan habitat akibat aktivitas manusia, yang dapat menyebabkan kepunahan lokal. Habitat alaminya di Teluk Balikpapan juga berpotensi tertekan karena pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Hal ini menekankan perlunya pemahaman tentang peran ekologis flora yang dilindungi ini dalam habitat alami fauna yang dilindungi (seperti bekantan). Anakan dan pohon Camptostemon philiphinensis memiliki rata-rata diameter batang 14,98 ± 7,95 cm dan rata-rata tinggi 9,49 ± 3,59 m.

Camptostemon philippinensis (Vidal) Becc adalah spesies mangrove yang terancam punah dan tercantum dalam kategori terancam pada Daftar Merah IUCN (Duke et al., 2010).

Spesies ini merupakan salah satu dari dua spesies mangrove yang dilindungi di Indonesia (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106/2018), sehingga menjadi prioritas tinggi untuk konservasi.

Peneliti PREE BRIN, Bina Swasta Sitepu mengatakan Camptostemon philiphinensis hanya digunakan kayunya (kayu bakar). Penelitian terhadap ekstrak daun jenis ini menunjukkan ada kandungan anti bakteri.

“Hingga saat ini, dua jenis tumbuhan Mangrove dengan status terancam (punah) menurut IUCN redlist: Camptostemon philiphinensis (Endagered) dan Sonneratia ovata (Near Threatened),” jelasnya.

Kata dia, Camptostemon philiphinensis merupakan jenis tumbuhan dengan sebaran alami di Philiphina, Sulawesi dan Kalimantan. Untuk Kaltim terdapat dua lokasi mangrove langka tersebut tumbuh.

“Selain di teluk Balikpapan, Camptostemon philiphinensis juga ditemukan di Tanjung Batu, Berau,” bebernya.

Dijelaskan Bina, jika sampai mangrove dibabat atau habis, efek langsung adalah hilangnya keanekaragaman hayati, seperti Flora dan Fauna di kawasan tersebut. Kawasan mangrove yang rusak juga rentan terhadap abrasi dan sedimentasi.

“Selain itu ada emisi karbon yang timbul akibat hilangnya karbon dari tegakan dan dari dalam tanah mangrove,” sebutnya.

Dia menerangkan, secara khusus regulasi tentang pembabatan mangrove tidak ada, namun ada regulasi terkait. Yakni, Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kemudian Keppres Nomor : 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, salah satunya tentang sempadan sungai yang terpengaruh pasang surut air laut.

Solusi yang “dijanjikan” pemerintah

Penjabat Bupati Penajam Paser Utara, M. Zainal Arifin, mengatakan wacana pembangunan pelabuhan pendukung logistik dan perluasan bandara VVIP masih dibahas oleh asisten I bersama Otoritas Ibu Kota Nusantara (OIKN).

Menurutnya, IKN adalah ‘Serambi Nusantara’ sehingga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) PPU harus mensuportnya. Pemerintah juga tengah mencari solusi terbaik agar masyarakat tidak terpinggirkan, tapi turut menjadi objek pembangunan.

“Kami suport IKN, karena Serambi Nusantara. Tidak boleh ada warga yang terpinggirkan. Win-win solusi tengah disiapkan,” klaimnya.

Pj Bupati PPU, M. Zainal Arifin. (Aksara Kaltim)

Ia secara pribadi telah berkoordinasi dengan BRGM (Badan Restorasi Gambut Dan Mangrove). Untuk melihat potensi apa saja yang ada. Rencananya, akan dimasukkan ke program konservasi dan rehabilitasi yang dikelola BGRM langsung.

“Saya sudah meminta teman-teman BGRM unutk melihat potensi. Karena sebagian kawasan mangrove yang ada di sana (Teluk Balikpapan) milik PPU. Semua program naional, jadi harus ikut bagaimana pola dan perencanaan terkait konservasi,” jelasnya.

Namun, ia tidak memberikan jawaban tegas terkait pembabatan mangrove untuk pembangunan pelabuhan logistik dan Bandara VVIP. Zainal hanya menekankan pentingnya sosialisasi kepada warga agar mereka turut menjadi bagian dari pembangunan.

“Polanya kemitraan dengan masyarakat. Warga juga akan diedukasi untuk mengelola mangrove dengan akuakultur. Kami harus melakukan sosialisasi ke masyarakat mengelola melalui silvo fisher atau agro silvo fisher. Misal Nanti pasti akan ada trade off, luasannya dan produktifitasnya yang berkurang tapi konsep kita adalah yang berkelanjutan. Kalau produksinya dipaksa mungkin hanya 5-6 tahun tapi dengan silvo fisher bisa lebih panjang,” terangnya.

Untuk diketahui, akuakultur adalah kegiatan budidaya perairan yang melibatkan pemeliharaan, pembiakan, dan pemanenan organisme air seperti ikan, kerang, alga, udang, lobster, mutiara, dan rumput laut.

OIKN Bungkam Soal Langkah Konservasi

Kabarnya, belasan ribu hektare kawasan mangrove yang membentang di sepanjang pesisir Teluk Balikpapan, yang menghubungkan Desa Jenebora dan Desa Pantai Lango, terancam dibabat habis. Dua kampung tua di wilayah tersebut juga menghadapi risiko hilang akibat kedekatannya dengan lokasi pelabuhan pendukung logistik dan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN).

Pembukaan lahan untuk bandara VVIP dan aktivitas pendukungnya mencapai 67 hektare, sementara dermaga dan fasilitas pendukungnya memerlukan 58 hektare lahan. Rencana awal pembangunan Bandara IKN mencakup luas terminal 7.350 m² dan luas area bandara sebesar 347 hektare. Namun, kini diperluas menjadi 621 hektare. Landasan pacu bandara dirancang sepanjang 3.000 meter dan lebar 45 meter, memungkinkan pesawat berbadan besar seperti Boeing 777-300ER dan Airbus A380 untuk mendarat.

Pembangunan bandara ini seharusnya mengikuti kajian lingkungan yang komprehensif. Pasal 5 Perpres No. 31 Tahun 2023 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Udara VVIP Untuk Mendukung IKN Nusantara menyebutkan bahwa Menteri Perhubungan harus menyusun studi lingkungan sebelum proyek dimulai.

Ketika dikonfirmasi, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Otorita IKN, Pungky Widiaryanto, menyebutkan bahwa konsep pembangunan IKN adalah Nagara Rimba Nusa. Namun, terkait pembukaan lahan besar-besaran yang melibatkan kawasan mangrove, Pungky hanya memberikan jawaban singkat bahwa reboisasi akan dilakukan tanpa menjelaskan mekanisme atau waktunya.

“Ada, itu masuk dalam program kami di Ibu Kota Nusantara,” ujarnya singkat melalui sambungan telepon pada Kamis (5/12/2024).

Ketika awak media mencoba mengajukan pertanyaan lebih lanjut, Pungky meminta agar sesi wawancara dilakukan nanti siang, meskipun saat itu jam menunjukkan pukul 12.29 WITA.

Awak media kemudian mengusulkan untuk mengirimkan daftar pertanyaan melalui WhatsApp, yang disetujui oleh Pungky. Daftar pertanyaan dikirimkan pada Kamis (5/12/2024) pukul 12.32 WITA. Namun hingga Minggu (8/12/2024) pukul 21.08 WITA, belum ada jawaban lebih lanjut dari pihak OIKN, meski sudah diupayakan konfirmasi ulang.

Penulis: Aji Sapta Dian Abdi