AksaraKaltim – Kebijakan sentralisasi guru dengan dalih pemerataan di Indonesia dinilai tidak efektif dan efisien, khususnya di Kota Bontang.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Bontang, Saparudin, menyoroti bahwa semangat otonomi daerah di sektor pendidikan terbentur oleh aturan pusat.
Saparudin menjelaskan, otonomi daerah yang diatur oleh UUD 1945 Pasal 18A dan UU No. 23 Tahun 2014 bertujuan mewujudkan demokratisasi, efisiensi administratif, dan peningkatan kesejahteraan daerah.
Namun, kewenangan ini seolah tidak memiliki fungsi menghadapi peraturan yang sepenuhnya berasal dari kementerian di pusat.
“Semua peraturan kan dari kementerian. Sementara Bontang ini kan otonomi daerah,” ujar Saparudin, Senin (2/12/2025).
Pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bontang, secara khusus menyoroti klaim pemerataan melalui sentralisasi.
Menurutnya, di Bontang, sebaran guru selama ini sudah merata. Persoalan krusial yang dihadapi Bontang, sama seperti hampir seluruh daerah lain di Indonesia, adalah kekurangan guru. Kekurangan ini terjadi karena adanya ketimpangan yang signifikan antara jumlah guru yang pensiun dengan jumlah penerimaan guru baru.
“Lebih banyak yang pensiun daripada yang diterima menjadi guru,” tegasnya.
Saparudin memaparkan, keruwetan dalam proses rekrutmen guru baru menjadi faktor penghambat terbesar. Calon guru kini diwajibkan memiliki sertifikat Pendidikan Profesi Guru (PPG).
“Penerimaan guru sekarang lebih ruwet, karena harus PPG dulu. Kalau tidak PPG, tidak bisa jadi guru sekarang, itu yang menjadi masalah,” kata Saparudin.
Ia berpendapat, jika saja pemerintah pusat melonggarkan kebijakan tersebut dan membuka program PPG secara umum tanpa harus bergantung pada beasiswa kementerian, maka masalah kekurangan guru di Bontang bisa teratasi.
“Seandainya keran itu dibuka pemerintah pusat, bahwa PPG boleh umum tanpa beasiswa dari kementerian, mungkin Bontang tidak akan kekurangan guru,” tutupnya.
Di akhir dia berharap adanya perubahan kebijakan rekrutmen yang lebih fleksibel dan berpihak pada kebutuhan riil daerah otonom.






