Tak Kenal Menyerah, AH Optimis Kampung Sidrap Masih Bagian Bontang

AksaraKaltim – Tidak pantang menyerah. Kalimat ini tampaknya patut disematkan kepada Wakil Ketua DPRD, Agus Haris, yang terus gigih dalam memperjuangkan Kampung Sidrap menjadi bagian dari Kota Bontang.

Saat ini Pemkot Bontang bersama DPRD benar-benar serius mengajukan gugatan tapal batas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu telah disepakati dalam sebuah rapat paripuna beberapa waktu lalu.

Anggaran senilai Rp5 miliar pun kini sudah dipersiapkan di 2023.

Wakil Ketua DPRD Bontang yang selama ini getol memperjuangkan peralihan kampung Sidrap, Agus Haris (AH) mengaku lega atas respons positif pemkot.

“Mewakili warga Kampung Sidrap, saya berterima kasih kepada kepala daerah karena tahun depan mereka telah menganggarkan sekitar Rp5 miliar untuk gugatan ke MK,” tutur AH kepada wartawan, Sabtu (17/12/2022) petang.

Politikus Gerindra ini menilai, upaya peralihan Kampung Sidrap ke Bontang menjadi peristiwa politik yang cukup besar. Sebab, menyangkut perubahan sistem administrasi pelayanan sosial dan tapal batas sebuah wilayah.

BACA JUGA:  Pemkot Bontang Lanjutkan Gugatan Tapal Batas Kampung Sidrap ke MK

AH menyebut, kendati Pemkab Kutai Timur memiliki legalitas yang jelas mengenai tapal batas di kawasan itu. Namun, bukan berarti Bontang tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk melayangkan gugatan ke MK.

Sebab, jika dirunut beberapa tahun ke belakang. Sejak Bontang masih berstatus kota administratif (Kotip) dan terbagi menjadi dua kecamatan, yakni Utara dan Selatan. Ternyata status Kampung Sidrap saat itu bagian dari Dusun Kanimbungan, Desa Belimbing, Kecamatan Bontang Utara.

“Itu berdasarkan data para ketua RT di sana (Kampung Sidrap). Artinya, posisi hukum Kampung Sidrap saat itu berada di Bontang Utara,” lanjut AH.

Namun lambat laun, batas wilayah Bontang – Kutim sontak berubah ketika pemerintah pusat menerbitkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005 tentang penetapan tapal batas. Kampung Sidrap justru masuk wilayah Kabupaten Kutai Timur.

Ia menilai itu keliru. Mestinya, kata AH, aturan tapal batas yang diatur dalam permendagri tersebut mengacu pada peta lampiran UU 47/1999. Di mana saat itu Sangatta masih berstatus kecamatan. Sehingga Kampung Sidrap tidak masuk Kutim.

BACA JUGA:  Bontang Siapkan Saksi Soal Gugatan Tapal Batas Kampung Sidrap di MK

AH menyebut, status Kampung Sidrap sempat masuk Kelurahan Guntung pada tahun 1999. Setahu dia, ketentuan itu tertuang dalam perda pembentukan kelurahan. Namun, dokumennya masih ditelusuri.

“Sedang ditelusuri, apakah Pemkot Bontang pernah memparipurnakan bersama DPRD untuk mengeluarkan Sidrap dari Bontang atau tidak,” lanjut AH.

Kemudian, kata AH, jika ditelaah lebih jauh lagi mengenai perbatasan Bontang dan Kutai Timur sebelah utara. Ternyata ada yang tidak sesuai antara patok satu sampai 14. Di mana patok delapan di Bukit Kusnodo tidak menunjukkan batas sebelah utara, melainkan ke arah timur.

Artinya, saat itu terdapat peristiwa administrasi penetapan tapal batas Bontang – Kutim yang tidak konsisten. Padahal jika ditarik garis lurus mulai dari patok tujuh sampai 14, Kampung Sidrap tetap berada di wilayah kota Bontang.

BACA JUGA:  Gandeng Hamdan Zoelva, Pemkot Bontang Segera Layangkan Gugatan Soal Sidrap ke MA dan MK

“Itulah yang menjadi dasar hukum kami memperjuangkan Kampung Sidrap masuk wilayah administrasi kota Bontang,” tutur AH.

Sebaliknya, ia berharap Pemkab Kutim tidak getol melakukan perlawanan hukum. Lantaran menyangkut kesejahteraan penduduk Kampung Sidrap. Hal itu selaras dengan bunyi UUD 1945 pasal 28 pasal 28(a) – (h).

Kemudian dari sisi produk hukum, kata AH, minimal memenuhi tiga unsur. Meliputi kepastian hukum, keadilan, dan manfaat. Celakanya, warga di Kampung Sidrap tidak mendapatkan itu. Padahal, semangat otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

“Di situ dijelaskan tentang hak bagi setiap warga negara Indonesia. Baik dari segi pelayanan maupun kesejahteraan sosial. Warga Sidrap belum merasakan itu,” tegas AH.