AksaraKaltim – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait penegasan batas wilayah Kota Bontang dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 (UU 47/1999), dengan Putusan Nomor 10/PUU-XXII/2024.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa penentuan titik koordinat batas wilayah secara presisi merupakan ranah pembentuk Undang-undang (UU).
Menurut MK, dalam menetukan suatu tapal batas wilayah memerlukan keahlian khusus, karena harus menggunakan metode kartometrik dan survei di lapangan. Hal tersebut merupakan ranah pembentuk UU untuk menuangkannya ke dalam gambar peta wilayah, serta menentukan secara presisi titik-titik koordinatnya.
Karena dibutuhkan kemampuan dan keahlian di bidangnya, antara lain kartografi, geodesi, geografi, dan disiplin ilmu lain yang sejenis.
Dalam hal ini, MK sebagai pengadilan konstitusionalitas undang-undang, memiliki kemampuan dan kompetensi yang terbatas untuk memeriksa, menilai, maupun menentukan seperti apa seharusnya wujud peta dan titik-titik koordinat di lapangan.
“Seandainya diperlukan penilaian, penentuan ulang, dan/atau perubahan atas suatu batas wilayah, maka pemerintah pusat beserta jajarannya, adalah institusi yang menurut Mahkamah mempunyai sumber daya serta kemampuan dan kompetensi untuk melakukan tugas dimaksud,” bunyi putusan MK dilansir website resminya, khususnya pada lembar 109 dan 110 terdiri dari 112 lembar.
Selanjutnya, terkait dengan perumusan batas-batas wilayah dalam norma dan lampiran peta UU 47/1999 beserta turunannya, dalam hal ini Permendagri 25/2005, MK membatasi diri untuk tidak mengubah atau menentukan batas-batas wilayah dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut.
MK juga menyinggung Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah (Permendagri 141/2017), yang mengatur prosedur penentuan atau penetapan titik-titik koordinat oleh Tim Penegasan Batas Daerah (Tim PBD) di berbagai tingkatan.
Terkait dengan adanya indikasi perbedaan antara norma dalam UU 47/1999 dengan fakta historis, rencana pemekaran awal, serta peta lampiran UU 47/1999 dan Permendagri turunannya, MK berpendapat bahwa pihak yang tepat untuk meninjau kembali substansi UU 47/1999 adalah pembentuk undang-undang.
Oleh karena itu, MK merekomendasikan agar pembentuk undang-undang segera melakukan peninjauan secara komprehensif terkait pengaturan batas wilayah yang dipersoalkan dalam permohonan tersebut, untuk menyelesaikan persoalan penataan daerah yang masih bermasalah.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, MK menyatakan bahwa dalil Pemohon yang mempersoalkan Penjelasan Pasal 2, Pasal 7, Pasal 10 ayat (4) huruf c, Pasal 10 ayat (5) huruf d, dan Lampiran 5 (berupa Peta Wilayah Kota Bontang) UU 47/1999 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris menegaskan MK melalui putusan atas perkara pengujian Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tidak menyatakan status Sidrap sebagai bagian dari Kutim. Permohonan yang diajukan Pemkot Bontang bertujuan menegaskan batas wilayah Kota Bontang yang dinilai tidak konsisten antara pasal, penjelasan, dan lampiran UU tersebut.
“MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa penentuan batas wilayah harus dilakukan melalui penarikan titik koordinat di lapangan dengan melibatkan lembaga yang berkompeten. MK tidak memiliki kewenangan menentukan titik koordinat tersebut,” jelasnya mengutip putusan halaman 109–110 dan pertimbangan hukum 3.15.3 serta 3.15.4.






